Jumat, 26 Februari 2010

Sakadang saya membuat KTP bagian 2


Oleh: Ikhsan Peryoga

Setelah dari kelurahan dan sekedar bersilaturahmi dengan si Ibu-ibu petugas, lalu saya di antar oleh motor adik saya yang sebenarnya saya kendarai sendiri ke kecamatan.

“Kamu tunggu di sini yah sama helm, saya mau ke dalam dulu, jangan kemana-mana OK!” itu saya yang bicara dengan motor adik saya. Motor adik saya diam saja, tapi biarkanlah, mungkin itu keinginannya untuk terlihat cool. 

Banyak manusia di sana, manusia ras proto melayu, tidak ada Ras Arya kebetulan, mereka sudah jarang terlihat sejak agresi militer belanda 2. oh lihat itu marisol, banyak dari mereka membawa map yang banyak pada ingin membuat KTP. Jangan ditanya ngantri atau tidak, sudah pasti bergerombol merong-rong kasir pelayanan KTP. Tidak peduli baru datang, yang penting berani untuk seseledek (bahasa polandia) dan tidak malu untuk selepat-selepet (bahasa Moldova) maka itulah yang dilayani pertama. 

Saya pun datang, bersama pakaian, sandal jepit, map kuning, dan tas. Tapi semua itu tak penting, yang lebih penting yang saya bawa ke kantor kecamatan saat itu adalah idealisme, hasil didikan saya kuliah sampai saya belum lulus-lulus hingga kini. Saya datang dengan Idealisme mahasiswa, dimana saya di harusi menjadi orang paling sensi melihat ketidak beresan dalam tatanan masyarakat. 

Saya pun mendekat, mendekatini’I gerombolan tersebut. Saya berdiri dibelakang, dan ada empat orang dari manusia laki-laki bapak-bapak yang saya tidak sempat kenalan dengan mereka berdiri didepan saya dengan posisi tidak karuan. “Ehem” saya mengeluarkan bunyi seperti itu dibantu tenggorokan saya. Hal ini mengisyaratkan ketidaknyamanan saya akan keadaan di depan saya. Ke empat orang itu tidak menghiraui dan terus saja focus ke pada si kasir yang tentu saja tidak cantik. Mereka sangat focus dalam upaya paheula-heula (padulu-dulu) menyodorkan berkas KTP mereka.

“Astaga” , saya kata dalam benak… itu si berkas dari orang-orang tersebut banyak sangat, lebih dari 4 map setiap orangnya. Saya jadi mendapati kesimpulan bahwa beliau-beliau adalah RT atau RW yang mengkolektifkan pembuatan KTP warganya. “Astaga, itu Pemimpn warga tidak ngerti ngantri” saya berkata seperti itu serius, tapi mereka diam saja. Oh ternyata saya berkata dalam hati, jadi aja tidak terdengar mereka-mereka.

Saya diam aja terus dibelakang mereka, dan tiba-tiba sekonyong konyong ada ibu-ibu pake tudung yang datang. Datang dengan percaya diri dan langsung merebut posisi saya yang menjadikan si ibu-ibu itu ada di depan saya. Jadilah 5 orang yang terlihat fokus kepada kasir dengan posisi tidak mengantri.

Kesel dengan ini saya pun bereaksi, sebagai mahasiswa yang tidak hanya menerima teory di kelas. Ini asli bukn berkata dalam hati “bapa, ibu, ngantri dong!!” menggunakan bahasa sunda. Mereka semua-mua menoleh kepada saya. Ada yang malu dan memperbaiki posisi berdirinya, ada juga yang tidak. Ada juga yang malah berkata kepada saya“jang, saya sudah datang dari tadi!!”, “iah, makanya ngantri, jadi ketauan siapa yang datang belakangan dan jadi nga nyerobot-nyerobot” itu kata saya kepada si bapa-bapa yang tadi sedikit nyolot. 

Lalu si ibu-ibu kasir dari dalam pun berkata, “iah ngantri gera pa, biar tidak raribut”. Dengan ini, para manusia itupun menjadi mengantri dan keadaan menjadi sedikit tenang…

Semenjak itu, siapapun yang datang menjadi berdiri di paling belakang. Dan taukah hey para pembaca, ngantri itu indah dan keren hey. Dan keberanian untuk berkata benar sesuai idealisme mahasiswa itu berjalan dengan sukes. Oh senangnya jadi mahasiswa dan kasihan itu temen2 saya yang sudah lulus dan tidak menjadi mahasiswa lagi..

Dan setelah menunggu, akhirnya tiba giliran si sayah yang berhadapan dengan si kasir. Map kuning saya serahkan. “a, foto na mana??” itu kata si kasir. weanjis , saya lupa itu foto belum di guntinggi, masih dalam bentuk lembaran A4 setelah tadi di print, belum juga di tempel di formulir.. hadeuh… lalu saya pun berkata mau pinjam gunting ke si ibu kesir dengan sedikit rariweuh.

Dan dengan nada puas tapi tidak menyenangkan, terdengarlah celetukan dari belakang “tadi aja nyuruh ngantri… pas gilirannya belepotan, belum siap” (begitu kira-kira kalau di bahasa indonesiakan mah). Oh ternyata si Ibu pake tudung yang tadi saya suruh ngantri. 

MALU!!!!! 
sial dong!!! 

Saya langsung keluar dari antrian membawa map kuning beserta berkas lalu ke pinggir sambil mengguntingi foto saya yang ganteng, tetapi kali ini foto itu menjadi berengsek karena penyebab saya menjadi malu kaya gini.

Setelah beres saya kembalikan itu gunting dan saya pun segera pergi dari kantor kecamatan tersebut. Entah kenapa, mungkin malu, mungkin terpukul, atau apa, tapi yang jelas saya langsung bawa helm dan naik motor dan “ngeng..” (ini ekspresi menjalankan motor). 

Dengan setengah sadarkan diri saya kendarai motor dan jadi berada di suatu bangunan, mirip kantor. Saya masuk ke kantor tersebut. Ada 4 orang didalamnya, dua ibu-ibu, dua bapak-bapak. Salahsatu ibu-ibu langsung melihat saya tajam, kusam, muram, penuh nafsu dan dendam, mukanya seakan terbuat dari cairan kimia sejenis cuka, bawannya masam melihat muka saya. Saya tetap cool untuk masuk kantor itu. 

Ketika sampai di sebuah meja, saya jadi berdiri di hadapan 4 orang tersebut. 4 orang tersebut melihat saya tajam manjadikan saya sebagai focus penglihatan mereka. Saya buka map kuning dengan tiada berkata apapun kepada mereka. saya ambil sebuah lem kertas yang ada di atas meja mereka, membuka tutupnya dengan tidak mempedulikan ke 4 orang dihadapan saya, seakan-akan saya autis dan punya dunia sendiri. Saya oleskan lem kepada foto yang sudah di gunting di kantor kecamatan tadi lalu di tempelkanlah beliau (foto tsb) ke dalam formulir. 

Setelah selesai, saya bereskan formulir dengan cepat dan segera meninggalkan tempat tersebut. Ketika saya berjalan keluar dari sebuah kantor tersebut, terlihat muka-muka bengong 4 orang yang dari tadi memperhatikan saya. Terutama si ibu-ibu yang satu itu, seakan mukanya tidak kobe dengan mata buncelik melihat saya. 

saya pun kembali ke kecamatan dan mengantri dari awal, lalu menyerahkan berkas formulir kepada kasir. Si kasir menyuruh saya membayar 8000 rupiah, dan menyuruh saya kembali lagi ke sini jam 1 siang buat menjemput KTP yang sudah jadi. Lancang sekali itu kasir menyuruh-nyuruh saya seakan saya pembantunya, tapi apa boleh buat memang saya membutuhkan KTP itu untuk kepentingan egoistis saya. Seperti jaminan hutang jika makan ga punya uang, atau buat tanda yang akan diperlihatkan ke satpol PP jika ada razia bencong.

Oh KTP, akhirnya kamu lahir sekitar jam stengah 2 pada tanggal 9 November 2009 kalender Syamsiah. Tidak perlu menunggu 9 bulan 10 hari untuk melihat kamu lahir. Hanya 1 hari saja, tapi saya yakin, seyakin-yakinnya kamu tidak premature wahay KTP.


Mengenai bangunan dimana tempat saya mengelem foto adalah kantor kelurahan, saya langsung kepikiran pergi kesana karena tadi masih ingat bahwa di meja kantor kelurahan ada lem. Mengenai si ibu-ibu yang berwajah heran dan seakan penuh dendam adalah ibu-ibu yang beberapa jam sebelumnya saya kerjain mau di kasih uang administrasi 300 ribu oleh saya (baca note “sakadang saya bikin KTP bagian 1”). 

Oh indah sekali hidup sampai saya tidak malu datang lagi ke kantor kelurahan itu…


Masih dialami saya pada 9 November 2009 kalender Syamsiah.
Description: Sakadang saya membuat KTP bagian 2 Rating: 3.5 Reviewer: ikhsan peryoga ItemReviewed: Sakadang saya membuat KTP bagian 2

0 komentar:

Posting Komentar