Jumat, 26 Februari 2010

Ka Pameran, untuk masa kecil mereka yang terampas (bagian 2, permainan kesatria sejati)


oleh: Ikhsan Peryoga


Melanjuti’i bagian yang pertama nyah nyah saat si sayah, Ranu, Monii, Egie (brave shy) dan Arie lagi berada di pasar malam KPAD Gegerkalong Bandung. Setelah membeli perahu totorototan itu saya pun melihat barang-banrang yang sempat hilang dalam kehidupan saya. Saya melihat tukang dagang topeng, arumanis, balon gas, babalonan, yoyo balon, kokoleceran yang bisa hurung (menyala) dll.. semua nostalgia masa SD, SMP serasa dibangun lagi oleh suasana klasik dari pasar malam ini.

Si sayah tidak sabar untuk naik kincir dalam bahasa sunda atau biang lala dalam bahasa Indonesia. Tentu saja tidak kincir saja, tetapi saya ingin mencoba merasai semua wahana yang ada di pasar malam ini, walaupun ketika SD, SMP sudah sangatlah sering. Dengan rapat yang alot layaknya persidangan pertanggungjawaban ketua himpunan kami pun berdebat tentang pembelian tiket ini. Si Ranu Takut ketinggian, Si Arie Penakut, Si Monii nunggu adiknya si sayah sudah tidak sabar, dan si egie diam saja pertanda hayu-hayu saja. Hal tersebut membuat kami beberapa kali memutuskan untuk skorsing.. (teu penting sabenernyamah, berdebat di saat ini..)

Tanpa bermaksud meniru langkah politik “cepat” yang diusung salah satu Capres kita, akhirnya saya mengambil langkah cepet untuk segera memutuskan mau naik apa. Uang pun dikumpulkan dari tiap orang di akumulasikan oleh si Arie sehingga menjadi tereduksilah uang 50.000 yang keluar dari dompet si Arie. Kita pun beli tiket kincir walaupun si Ranu tidak beli karena dia takut “saban kuya”. Begitu juga dengan tiket rumah hantu. Rumah yang waktu kecil saya suka bingung, ko kita mau bertamu ke rumah tersebut, masa kita harus bayar?? Saya memikirkan hal itu sejak SD sampai saya tidak makan jengkol, apa karena itu pemiliknya hantu??? (sudahlah jangan di bahas). 

Dengan tanpa pengecualian, setelah diancam oleh kita akan di ajak berlari, akhirnya si arie mau juga untuk beli itu tiket, yang nantinya si tiket itu akan menjadi alat jaminan kita agar bisa masuk ke itu namanya rumah hantu yang tentu saja sekarang setelah saya kuliah saya menyebutnya rumah itu adalah rumah komersil karena diharuskan bayar.

Menjelang sore jam 6, kami pun terlebih dahulu naek kincir, itu juga setelah berdebat dengan sengit. Dan seperti naek-naek kincir sebelumnya, musti saya yang disalahkan dan musti juga saya yang mengalah. Ritual saya dari kecil ketika naik kincir adalah menggoyang-goyangkan kincir tersebut sekeras-kerasnya hingga si kincir bergoyang-goyang seperti yang sedang joget “batu dan berguling” (rock n roll). Tujuanya untuk apa??,.. ceritanya begini, pada suatu hari(mau), saya berjanji ke diri saya sendiri, bersumpah atulah lebih tepatnya, “saya, akan berhenti naik kincir ketika saya bisa membuat si kincir itu ngajumpalik satu kali “roll depan” atau “roll belakang”... cara satu-satunya membuat kincir itu melakukan hal tersebut adalah dengan menggoyang-goyangkan nya sekuat tenaga, dan tentu saja sekuat hati dan tentu saja lagi dengan sekuat jiwa, dan tentu saja lagi, lagi dan lagi adalah gabungan dari 3 elemen kekuatan (hati, tenaga dan jiwa) tersebut. (4 elemen seharusnyamah, dikarenakan elemen Didi Elemen band nya sudah fakum jadi wh 3 elemen, naeun ateuh). “A, jangan digoyang-goyang nanti jatuh!!!!” si emang kincir berteriak marah, asli ini marah.. si kami pun jadi menurut si emang kincir, takut di suruh turun soalnyah-nyah.

Wahana kincir pun terselesaikan dengan hati riang, selanjutnya adalah rumah hantu. Tapi eh tapi (yoka), nga rame kalo masuk ke wahana rumah hantu di sore hari. Untuk mengisi waktu itu kita sekapat untuk berkeliling-keliling lagi tanpa pola.

Dengan didikan orang tua-orang tua kami supaya kita senantiasa harus berani, jangan malu, dan jangan putus asa dalam rangka menghadapi masalah kehidupan, si kita pun tidak malu untuk membeli arumanis (kembang gula), berani untuk di tang-teng-teng-teng di keramaian pasar malam KPAD dan tidak putus asa ketika orang-orang melihatini’i kita aneh-aneh. 

Ini liciknya teman saya carolien amonica phaloitis yang perempuan, dengan alasan gender dia dengan se’enaknya berkata,”masa cewe lemah kaya monii harus bawa-bawa ini, (ini yang di maksd adalah arumanis nyah-nyah)” dan dengan keadaan di hipnotis si sayah pun mau-maunyah-nyah membawa kembang gula kepemilikan dia. Beda lagi kasus nya kalau sudah ngomong emansipasi nyah Ibu Kartini, “cewe itu harus setara ma cowo”, “nga ada perbedaan”, “nga ada stratifikasi cowo lebih tinggi”, “dan yabadayabadayabada...” tapi pas giliran gini mah nga ada kesetaraan, nga ada emansipasi, mesti harus cowo yang mengalah. Pas giliran harus ngankat yang berat-berat, harus mindahin motor di tempat parkiran mah, minta cowo dengan alasan, “kan aku mah cewe”, masa cewe ngelakuin gini???“ itu dia pembelaan’nyah-nyah.. ”Kan emansipasi”, saya jawab demikian. 

Hal tersebut Ini, mengbuat armor dan item yang saya bawa waktu itu: pakaian lengkap hitam-hitam, tas solendang, 2 parahu totorototan, 2 buah kembang gula (arumanis) yang saya teng-teng di tangan kanan.

ketika warior of goa berkumpul dalam suatu kegiatan, apa yang akan mereka lakuakan???. STRIINGG!!!, CLING!!!!, teteret!!!! Teteret!!!!, JJJOEENGGGG!!!!!, “permainan kesatria sejati!!!!” para fans berteriak demikian. 

“Kenapa manusia dihargai, karena dia mempunyai harga… mempunyai sesuatu berbentuk keyakinan yang harus dipertahankan sampai dia mati. orang-orang menyebut hal tersebut harga diri, atau kehormatan, menurut Ikhsan peryoga dalam bukunya Jagalah Hati-(hati dijalan) yang merupakan best seler nasional (rencananya) disebutkan, ada 2 tipe manusia di dunia ini, manusia biasa dan kesatria sejati. Dan yang dimaksud dengan kesatria sejati adalah orang yang mampu mempertahankan sesuatu yang dianggapnya kehormatan sampai dia mati…”

“Dan berikut adalah cerita saya dengan permainan berbahaya, menantang dan penuh gengsi, permainan kesatria sejati.”

Pertama saya melihat kawanan balon gas, menari-nari dia di tiup angin walaupun dia terpenjara oleh tali. Berwarna warni dia bergerak-gerak riang gembira. Dan terperanjatlah mata kita melihat balon-balon itu sambil mempunyai pikiran yang serupa, “ini permainan pertama”. Peraturan nya yang kalah, menteng-teng-teng-teng-ten
g balon gas di tangan sampai jalan-janan ini selesai.

Saya, Egie, Arie, Monni, Ranu: hompilah hompimpah alaihum gamreng... 
gamreng..,
gamreng,..
“kaluar euy”, 
gamreng, 
gamreng 
“asik menang”
“gamreng”
“Alhamdulilah”
“.................”
“Tilu kali nya, suten Indonesia”
“Ha”
“Ha”
“hiji cenah”
“Ha”
“dua, hiji deui euy”
“Ha”
“Yes”
“wuahahahahahahaha”

Brengsek, si sayah kalah... 

(jangan ketawa hey!!!) 

di beli lah itu balon gas dengan uang sendiri dan dengan tentu dari konsekuensi sebagai kesatria sejati saya teng teng itu balon. “Oh balon gas brengsek, dikau lebih sempurna jikalau di teng-teng balita, bukan oleh saya mahasiswa semester 8” saya mencoba bermolog dengan balon gas itu.

Hal tersebut Ini, mengbuat armor dan item yang saya bawa waktu itu: pakaian lengkap hitam-hitam, tas solendang, 2 parahu totorototan, 2 buah kembang gula (arumanis) yang saya teng-teng di tangan kanan, 1 balon gas berwarna hijau muda yang bagian pangkal talinyah-nyah di gelangkan pada pergelangan tangan kanan.

Keliling-kelilinglah kami. Sayah perhatikan semakin sore tempat ini semakin ramai sajah. Saya yang memperhatikan keadaan yang semakin ramai di timpal juga dengan orang-orang yang memperhatikan saya, memperhatikan apa-apa yang saya bawa. Sayah sih biasa saja, mereka mungkin yang menganggap sayah aneh. Berkeliling, hey kita berkeliling lagi cuman untuk kamuflase. Sebenarnya si kita sedang mencari objek yang bagus untuk permainan selanjutnya (kalimat presen ten). “wow itu keren”, tunjuk saya, semua-mua punsetuju, permainan kesatria sejati kedua dimulai...

Saya, Egie, Arie, Monni, Ranu: hompilah hompimpah alaihum gamreng... 
gamreng..,
gamreng,..
“kaluar euy”, 
gamreng, 
gamreng 
“asik menang”
“gamreng”
“Alhamdulilah”
“.................”
“Tilu kali nya, suten Indonesia”
“Ha”
“Ha”
“hiji cenah”
“Ha”
“dua, hiji deui euy”
“Ha”
“Yes”
“wuahahahahahahaha”
(tulisan nya saya copy paste, biar cepet)
Siapa yang kalah coba???
Sayah.. 

Tertawalah kalian para pembaca, karena bukan sayah. Moch Azan Egie Setiagung alias egie yang kalah. Beliau di konsekuensi’i oleh kita untuk menteng-teng balon berbentuk mirip miki mos atau helo kiti yang ada gagang nya, berwarna pink sampai acara jalan-jalan ini seleai. Sebuah mainan balita yang sempurna. Hahay, “L.A.” kata saya. (maaf, Salah satu penggemar cerita bodoh saya bertanya-tanya, “L.A apa’an?” jwb oleh editor saya, yaitu saya sendiri: L.A. “lebok aja”, ini bahasa gaul hey)

Kembali lagi seperti yang tadi, si kita semua berkeliling-keliling lagi hanya sekedar untuk kamuflase lagi, yang sebenarnya lagi-lagi dan lagi, adalah untuk mencari bahan permainan yang lebih menarik lagi.

Kami melihat “itu”. “Itu” adalah sesuatu yang ada di situ. Sepakat, tanpa banyak omong kita mensetujui’i. Main lagi hey...

Saya, Egie, Arie, Monni, Ranu: hompilah hompimpah alaihum gamreng... 
gamreng..,
gamreng,..
“kaluar euy”, 
gamreng, 
gamreng 
“asik menang”
“gamreng”
“Alhamdulilah”
“.................”
“Tilu kali nya, suten Indonesia”
“Ha”
“Ha”
“hiji cenah”
“Ha”
“dua, hiji deui euy”
“Ha”
“Yes”
“wuahahahahahahaha”
Siapa yang kalah coba???
Sayah.. 
Tertawalah kalian para pembaca, karena sayah lagi yang kalah, haduh 2 kali kalah dalam 1 hari, menyebalkan...

Yang sekarang “itu”, “itu” adalah “itu” yang tadi, adalah benda aneh terbuat dari balon sebesar apel yang di isi air, si balon apel ini disambungkan dengan tali kolor ke jari tangan, ini menyerupai permainan yoyo dalam versi yang lebih sederhana. Sebuah mainan anak balita yang sempurna juga. 

Hal tersebut Ini, mengbuat armor dan item yang saya bawa waktu itu: pakaian lengkap hitam-hitam, tas solendang, 2 parahu totorototan, 2 buah kembang gula (arumanis) yang saya teng-teng di tangan kanan, 1 balon gas berwarna hijau muda yang bagian pangkal talinyah-nyah di gelangkan pada pergelangan tangan kanan. 1 buah balon ancul-anculan yang di gelangkan di jari telunkuk sebelah kiri tangan sayah.

Si sayah berkewajiban untuk mengancul-ngancul kan benda itu supaya si benda turun-naik. Makin banyak orang yang antusias melihat apa yang saya bawa. Mereka berkata “orang aneh, pasti kekanak-kanakan, otaknya berhenti di umur 7 tahun ih...” itu yang mereka katakan walaupun saya tidak dengar, karena itu hanya dugaan semata dari penulis. 

Ada wahana memancing ikan, yang ikan nya terbuat dari plastik made in china. Ikan nya juga bermacam-macam berbagai species, berwarna-warni, menarik, imut dan tak lupa lucu-luchu. Di ujung pangkal mulut si ikan ada magnetnya dan di ujung pangkal si pancingan ada besinya. Si sayah terperanjat mata melihat keaasikan mereka yang sedang menikmati itu wahana. Dengan reflek dan lebay si sayah pun yang lagi kerepotan dengan apa saja yang saya bawa dan hal-hal kekanak-kanakan yang saya pasangkan di dalam tubuh ini, merengek ke si monii. “teh, atu teh” sepertinya teteh saya itu si monii padahal mah bukan begitu kenyataan nyah-nyah. “teh atuh, teh.. pengen mancing... itu teh, mancing...” itu saya yang merengek gaya saya ketika umur 5 tahun.

Tiba-tiba, ini dengan tiba-tiba hey.. tidak ada sekenario sebelumnya, ketika saya melirik ke sebelah kanan saya terkesima karena tidak bisa bergerak (terbalik, seharusnyah mah, saya tidak bisa bergerak karena terkesima). Saya dilihatin oleh seorang cewe, dia tahu saya siapa, saya pun tahu cewe ini. Nguk!!!, layaknya dipergoki kemerosotan handuk oleh neng Rani ketika kita selesai mandi sementara kita nga pakai daleman lagi yang menutupi zona segitiga bermuda dan di selangkangan kita ada tato bertuliskan “karena Rani”... MMMMAAAAALLLUUUU!!!!!!... si sayah dengan kembang gula 2 buah, balon gas berwarna hijau, balon isi air bentuk apel yang di enjot-ennjot seperti yoyo, lagi “rariba/raridu” pokonyamah-mah (bahasa indonesianyah apa yah?? Kerepotan membawa barang barang tersebut, jadi nga enakeun euy bahasanyah kalo di translet mah), ditambah rengekan ke si monii pengen mancing-mancingan... pokonyah “belegug pisan lah mode on” kata anak geol sekarang mah.. cewe itu tersenyum setengah tertawa setelah mata nya jelalatan melihat apa-apa yang saya “ringkid” (bahasa sunda untuk “bawa”)... saya belas dengan tersenyum dia... “eh..., ibu..., nga naik korsel bu??” pertanyaan bodoh keluar dari mulut sayah... yang melihat saya adalah dosen saya, si jenius dalam bidang politik, dia orangnya serius, lugas dan tegas. Pengetahuan nya luas, pola pikirnya kritis membuat terkesan orang. Beliau juga dari semasa mahasiswa sudah aktif di organisasi-organisasi, seorang yang karir politiknya cemerlang pokonyamah. dialah dewa politik di tempat saya kuliah versi saya, Ibu Farida. Saya salah sangka lagi, beliau tidak sendiri, tetapi dengan suaminya, dengan anak nya juga. Dan kalian tahu kah??? Tahukah kalian??? Nailak hakuhat??? Suaminyah ibu Farida ini adalah Pak Hadi, Pak hadi yang tempo hari kemarin mencalonkan sebagai wakil wali kota bandung, dari non partai atau independent. 

Ibu farida tahu saya adalah mahasiswanya, yang serius yang baik, yang bisa menjaga nama baik diri, nama baik jurusan dan almamater UPI. Pa Hadi juga tahu saya ketika saya bekerja di beliau jadi tim kroscek data dukungan ketika beliau mencalonkan jadi wakil wali kota tersebut. Si sayah memang di kenal oleh orang-orang yang tidak begitu mengenal saya sebagai orang pendiam, rajin, ulet dan sopan serta pasangan nya yaitu santun.

Si sayah berasepsi mereka melihat saya sangat kecewa, mungkin mencabut statusnya yang tadinya saya di mata si ibui adalah mahasiswanyah, sekarang menjadi bukan siapa-siapanya... oh malangnya saya, untung saya ditemani beberapa teman yang lagi malang juga. seperti si Eka Muktiningrum yang tadi YM’an sama saya dan mangabari dia lagi berada di malang. malang juga seperti mobilnya mas Aji di depan yang parkir berposisi malang menghalangi garasi rumah. Atau malangnya temen saya si Yogi yang sudah malang melintang di dunia balap sejak SMP. Terimakasih semua sudah menemani saya.

Si sayah langsung sciples, atau sepicles saya lupa lagi ini istilahnya apa. Dengan serta merta menutupi rasa malu saya dengan kabur perlahan. aya memakai jurus “menghilang perlahan tapi pasti” seperti bau kentut.

Aduh bagai mana ini, jikalau saya dicap jelek oleh si Ibu farida sekeluarga, bagaimana jikalau saya di cap jelek oleh jurusan dan sekeluarga besarnya, bagaimana jikalau saya dicap jelek oleh fakultas dan keluarganya yang lebih besar nyah lagi, bagaimana jikalau hey jikalau saya di cap jelek oleh universitas dan keluarga-keluarga-keluarga
 besar besar lagi-lagi dan lagi nyah-nyah???

Mochamad Azan Egie: Lebok aja!!!...

Bersambung ke bagian ke tiga, rame siah asli!!!
Description: Ka Pameran, untuk masa kecil mereka yang terampas (bagian 2, permainan kesatria sejati) Rating: 3.5 Reviewer: ikhsan peryoga ItemReviewed: Ka Pameran, untuk masa kecil mereka yang terampas (bagian 2, permainan kesatria sejati)

0 komentar:

Posting Komentar